MAKALAH
MASYARAKAT MADANI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu:
Ujang Endang, S.AG., M.Ag.
Ujang Endang, S.AG., M.Ag.

Disusun Oleh :
Agung Nugraha
Intan Permatasari
Suryani
Tetin
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS TARBIYAH
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS
CIAMIS
2016
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga makalah yang
berjudul “MASYARAKAT MADANI” dapat tersusun dengan baik dan dapat disajikan
dengan baik.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan maupun pengkajiannya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak yang sifat-sifatnya membangun sangat penulis harapkan, demi
untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Demi kelancarannya mengerjakan tugas ini saya ucapkan terima kasih
kepada Kedua orang tua saya yang telah memberikan motivasi dan semua teman –
teman yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya kepada
kita semua, dan akhirnya mudah-mudahan makalah ini walaupun sederhana dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Amiin ya robbal ‘alamin.
Ciamis, 26 November 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................
i
DAFTAR ISI............................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................
1
A. Latar Belakang..................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................
1
C. Tujuan Pembuatan Makalah..............................................................
2
BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................
3
A.
Konsep
Masyarakat Madani..............................................................
3
B.
Fungsi
Masyarakat Madani...............................................................
4
C.
Prinsip-Prinsip
Masyarakat Madani..................................................
5
D.
Nilai-Nilai
Masyarakat Madani.........................................................
8
BAB III
PENUTUP................................................................................. 13
A. Kesimpulan...................................................................................... 13
B. Saran................................................................................................ 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wacana
dan praktis tentang civil society belakangan ini semakin surut. Kecenderungan
ini sedikit mengherankan karena dalam “transisi” menuju demokrasi, seharusnya
wacana dan praksis civil society semakin kuat, bukan melemah. Alasannya,
eksistensi civil society merupakan salah satu diantaranya tiga prasyarat pokok
yang sangat esensial bagi terwujudnya demokrasi.
Mewujudkan
masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan
adab dan tradisi masyarakat local tetapi lebih dari itu adalah menbangun
masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat
berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Ungkapan
lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini
seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai
dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha
mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat
yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut
komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan
konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Selanjutnya,
wacana tentang masyarakat madani oleh banyak bangsa dan masyarakat di negara
berkembang, secara antusias ikut dikaji, dikembangkan dan di eliminasi,
sebagaimana relitas empiris yang dihadapi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa
konsep
masyarakat madani ?
2.
Apa fungsi masyarakat madani ?
3.
Apa prinsip-prinsip masyarakat madani ?
4.
Apa nilai-nilai masyarakat madani ?
C.
Tujuan
Pembuatan Makalah
Adapun yang menjadi
tujuan dari pada pembuatan makalah yaitu sebagai berikut :
1. Dapat
mengetahui konsep masyarakat madani ?
2. Dapat
mengetahui fungsi masyarakat madani ?
3. Dapat
mengetahui prinsip-prinsip masyarakat madani ?
4. Dapat
mengetahui nilai-nilai masyarakat madani ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
masyarakat madani
Masyarakat
madani; konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali
digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium
Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September
1995 di Jakarta. (Aswab Mahasin, 1996) konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim
ini merupakan sebuah potret bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok
masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur
yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta
inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan
mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan
keterdugaan atau predictablity serta
ketulusan atau transparency sistem.
Terjemahan makna
masyarakat madani ini, banyak diikuti oleh para cendekiawan dan ilmuan di
Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra dan
sebagainya. Pada prinsipnya konsep masyarakat madani (civil society) adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang
mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban. Disisi lain masyarakat
madani mensyaratkan adanya toleransi dan menghargai akan adanya pluralisme
(kemajemukan).
Sekilah
perwujudan masyarakat madani itu, yaitu diawali ketika Rosululloh hijrah dari
Mekkah menuju kota Yatsrib (sekarang madinah al Munawwarah), karena Rosululloh
Muhammad SAW dalam berdakwah di Mekkah selalu mendapatkan rintangan dari kaum
kafir, kemudian Muhammad hijrah ke Yastrib. Di sini Nabi Muhammad SAW
mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat setempat, sehingga
memudahkan Muhammad untuk berdakwah dan siap menyusun sendi-sendi masyarakat
madani.
B.
Fungsi Masyarakat Madani dalam Suatu Negara
Adafun fungsi
masyarakat madani dalam sebuah negara dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Meniadakan
ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat.
2. Melindungi
kepentingan penduduk yang universal.
Kepentingan
tersebut meliputi elemen sipil, politik dan sosial. Menurut Nurcholish Madjid,
negara madinah merupakan negara modern pertama di dunia yang dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Paradigma ini apabila ditarik dalam
konteks keindonesiaan., yakni menurut Nurcholish Madjid, masyarakat madani
bukanlah sebuah tatanan masyarakat tanpa militer, tetapi sebuah masyarakat yang
menyelesaikan persoalan dengan keadaban (civility). (Sidarta Gautama dan Aries
Budiono, 1999) yaitu masyarakat yang kepentingan anggotanya tentang hak milik,
hak kehidupan, kebebasan dan hak-hak lainnya terjamin.
Sebagaimana
digambarkan oleh Anthony Giddens: pembaharuan masyarakat madani mensyaratkan
adanya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat madani, pembaharuan komunitas
dengan meningkatkan prakarsa lokal, keterlibatan sektor ketiga, perlindungan
ruang publik lokal, pencegahan kejahatan dengan basis komunitas dan adanya
keluarga yang demokratis. (Anthony Giddens, 1999).
Dengan demikian,
maka peradaban yang besar adalah peradaban yang menciptakan lingkungan yang
cocok secara politik, sosial, ekonomi, kultural, dan material dan mengantarkan
seseorang bisa mengamalkan pesan perintah-perintah tuhan dalam seluruh
aktifitasnya, tanpa harus dirintangi oleh institusi-institusi masyarakat.
Institusi-institusi tersebut tidak boleh menyebabkan adanya kontradiksi antara
keyakinan agama dan perbuatan, atau menekan seseorang untuk menyimpang dari
kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, Tuhan sekalian alam. Bagaimana pun
majunya suatu peradaban dalam sains, literatur, dan seni; bagaimana pun
warna-warninya pencapaian dalam arsitek, perlengkapan, pakaian, dan makanan;
bagaimana pun jauhnya peradaban itu meraih kemajuan material; dalam pandangan
sejarawan muslim, itu tetap “terbelakang” dan “kurang” jika tidak menyediakan
lingkungan yang kondusif untuk pengabdian terhadap Tuhan dan pengalaman
ajaran-ajaran-Nya yang terkandung dalam pesan syariat. (Akram Dhiyauddin Umari,
1999) Artinya dalam hal ini menciptakan masyarakat yang memiliki dimensi ganda
yakni dimensi kemanusiaan dan dimensi ke-Tuhanan, dimensi material dan
spiritual, dimensi lahiriah-batiniah dan sebagainya.
C.
Prinsip-prinsip
masyarakat madani
Masyarakat
madani yang dicontohkan oleh nabi pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap
masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti
yang selama itu menjadi pengertian umum tentang negara. Meskipun secara
eksplisit islam tidak berbicara tentang konsep politik masyarakat madani bisa
ditemukan didalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip-prinsip
masyarakat madani adalah: persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi
manusia, serta prinsip musyawarah.
1.
Persamaan
(equality)
Prinsip
persamaan ini bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang, tanpa
memandang jenis kelamin, nasionalitas, atau status semuanya adalah makhluk
Tuhan. Dalam Islam Tuhan menegaskan “sesungguhnya orang yang paling mulia di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa” (al-Hujurat (49): 13). Nilai dasar
ini di pandang memberikan landasan pemahaman bahwa dimata Tuhan manusia
memiliki derajat yang sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadits
Nabi yang menegaskan bahwa “tidak ada kelebihan antara orang arab dan orang
yang bukan arab kecuali taqwanya”. Dari sini kemudian dipahami bahwa islam itu
memberikan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang
ada pada masyarakat yunani, ekualitas yang ada dalam agama islam, misalnya,
bukan menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelimnya.
Ekualitas menurut orang-orang yunani hanya berarti dalam tatanan hukum. dalam
hal ini Hannah Arendt mengatakan bahwa bukan karena semua manusia lahir dalam
keadaan sama, tetapi sebaliknya, karena mausia pada dasarnya memang tidak sama.
Karena itu ia memerlukan institusi artifisial, polis, untuk membuatnya sama.
(Hannah Arendt, 1963) Persamaan ini hanya ada diwarga negara dan bukan sebagai
pribadi orang secara individual. Perbadaan antar konsep ekualitas yunani kuno
ini dengan islam terletak pada ide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan
menjadi tidak sama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi
buatan manusia. Ekualitas yang terdapat dalam masyarakat yunani merupakan
sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan, yang memperoleh
ekualitasnya berdasarkan nilai kewarganegaraan dan bukan diperloehnya sejak
lahir. Meskipun didalam islam ditemukan bahwa ekualitas juga terkait dengan
pra-kondisi politik, yaitu keanggotaan di dalam ummah, tetapi pra-kondisi ini
bisa dicapai oleh setiap orang hanya dengan jalan menyatakan masuk islam.
Sementara dalam tradisi yunani jalan untuk mencapai dunia politik, yang
merupakan prakondisi nilai ekualitas, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang
memiliki kekayaan dan budak belian sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh
orang kebanyakan.
2.
Kebebasan
dan Hak Asasi Manusia
Islam juga
menekankan kebebasan dan hak-hak asasi manusia, dua komponen yang menjadi ciri
penting masyarakat madani. Menjadi orang mukmin yang baik, orang harus bebas
merdeka. Apabila keyakinan seseorang itu karena paksaan maka keyakinan yang
dimiliki itu bukanlah merupakan keyakinan yang sesungguhnya. Dan jika seorang
muslim itu secara bebas menyerahkan diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa
ia telah mengorbankan kebebasannya. Karena pilihan untuk menyerahkan diri itu
semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal ini karena di sisi Tuhan
juga menegaskan kepada manusia untuk bebas memilih taat atau tidak kepada
perintah-Nya.
Dasar ajaran
mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat manusia,
yang selalu diwarnai oleh tidakan pembelengguan hak serta kebebasan manusia.
Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan selalu berada
pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh mereka yang
kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh yang pandai, yang miskin spiritual dan
agama oleh kaum pendeta atau ulama. Dunia seakan-akan tidak kosong dari tidakan
semena-mena manusia terhadap sesamanya, dalam kekaisaran romawi kuno sejarah
menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi
resiko mati karena kebijakan kekaisaran yang menghendaki keperkasaan karena
tuntutan perang. Di mesir kuno pernahdan agama oleh kaum pendeta atau ulama.
Dunia seakan-akan tidak kosong dari tidakan semena-mena manusia terhadap
sesamanya, dalam kekaisaran romawi kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang
lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijakan kekaisaran
yang menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang. Di mesir kuno pernah
diberlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut
tergeser dari singgasananya. Sebaliknya diarab jahiliyah, wanita dianggap tidak
ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap
bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup.
Pengalaman hidup
manusia seperti yang disebutkan diatas dan kondisi sosial masyarakat arab
sewaktu islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman
bahwa secara simantis makna bebas (hurr) yang dimaksud oleh islam itu
berlawanan dengan budak (‘abd). Bukankah salah satu misi penting sosial islam
adalah membebaskan perbudakan. Selain wawasan kebebasan seperti yang di
maksudkan ini, sejak periode awal islam beberapa pemikir muslim juga
mengembangkan doktrin ikhtiyar (pilihan atau kebebasan berkehendak), yang
merupakan sebuah prakondisi substantif diterimanya konsep kebebasan seperti
yang dipahami filsafat politik barat.
3.
Prinsip
musyawarah
Al-Quran tidak
mentolerir adanya perbadaan antara yang satu dengan yang lain, laki atau wanita
atas partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan
pandangan ini, al-quran menegaskan tentang prinsip syura syura (musyawarah) untuk
mengatur proses pembuatan keputusan yang di lakukan masyarakat madani.
Sayangnya, selama berabad-abad, di kalangan kaum muslimin telah tumbuh
kekeliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami
bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan orang-orang, yang
menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana, dengan tidak ada keharusan
untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut Fazlur Rahman,
jelas merusak makna syura itu sendiri. Al –quran dengan jelas menyebutkan
“......sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka....”
(Asy-Syura (42):38). Yang dimaksud “urusan mereka” adalah bukan urusan
individu, kelompok atau elit tertentu tetapi “urusan masyarakat pada umumnya”
yaitu urusan mereka itu di bicarakan dan diputuskan melalui saling
konsultasidan diskusi, bukan diputuskan oleh seorang individu atau elit yang
tidak dipilih oleh masyarakat. Dari sini dipahami bahwa syura tidak sama
maknanya dengan “seorang meminta nasehat orang lain” tetapi adalah saling
menasehati melalui diskusi dalam posisi yang sama. Secara langsung ini berarti
bahwa kepala negara tidak boleh menolak begitu saja keputusan yang telah
diambil melalui musyawarah (Fazlurrahman, 1986).
Kondisi yang
mempengaruhi perkembangan doktrin musyawarah dan kekahlifahan, yang telah
menimbulkan konsepsi keliru seperti yang disebut di atas, pada dasarnya adalah
persoalan sejarah dan karenanya tidak bisa dihubungkan dengan al-quran. Pada
masa Nabi Muhammad, kekuasaan utama memang ada pada Nabi, dan putusan yang
dibuatnya mengikat bagi semua kaum muslimin. Kecuali dalam urusan agama, hal-hal
yang menyangkut dengan karakyatan dan urusan sosial dan politik, Nabi sering
melakukan musyawarah dengan para sahabat. Setelah dia, dan terutama selama
periode perluasan daerah kekuasaan islam berlangsung, musyawarah menjadi sebuah
persoalan yang formal yang dipakai oleh khalifah sebagai media konsultasi
dengan para sahabat Nabi. Formalisasi dan pelembagaan musyawarah kedalam badan
perwakilan tidak mungkin terwujud karena tuntutan untuk berperang masih terus
berlanjut, baik kerena cepatnya kemenangan yang mereka peroleh maupun karena
persoalan internal dikalangan militer sendiri.
Semasa
pemerintahan Bani Umaiyah (41-132/661-750) tuntutan semacam ini tidak hanya
terbatas pada perluasan penaklukan tetapi juga termasuk konsolidasi
politik-militer kedalam, karena sepanjang sejarah pemerintahan Umaiyah terjadi
pemberontakan yang terus menerus. Pemerintahan Umaiyah mengubah sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh para Khalifah terdahulu dengan memaksakan
logika politiknya sendiri yang dalam
beberapa hal, tidak memberikan kesempatan adanya partisipasi masyarakat.
Kalau ada musyawarah, maka institusi ini hanya dilakukan dengan mereka yang
mendukung rejim penguasa. Kenyataannya musyawarah kemudian menjadi komoditas
politik yang al-quran sendiri melarangnya. Perkembangan inilah yang kemudian
mewarnai hubungan yang pada dasarnya berasal dari atas kebawah, yang
sesungguhnya bertentangan dengan makna syura itu sendiri.
Gersangnya
tatanan sosial yang mapan bisa menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan
demokrasi dan menghilangkan keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi
manusia lainnya. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama lebih
setengah abad menunjukan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu,
upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar dilakukan
dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi,
keadilan, HAM, toleransi, serta pluralisme.
Demokrasi adalah
proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga mewujudkan
masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan
anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan dan kemandirian serta
kemampuan untuk berprilaku aademokratis kepada orang lain dan menerima
perlakuan demokratis dan orang lain.
Dampak praktis
kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih sangat membekas
dalam kehidupan bernegara di dunia islam sekarang ini. Meskipun masyarakat
Muslim sekaang sudah terbebas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki
pemerintahannya sendiri, tetapi hampir semua mereka ini dihadapkan pada problem
internal yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua
negara yang mayoritas penduduk Muslim dipimpin oleh variasi dari rejim
otoriter, otokrasi, despotis dan sebangsanya. Dari kalangan sosiaolog, dunia
islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang
berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis kepada sebuah
masyarakat agraris dan rejim militer. Dua kecenderungan yang mencerminkan watak
masyarakat yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional
sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang
disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal
pemerintahan yang demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih
juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang.
Penciptaan
tatanan kehidupan masyarakat madani, salah satunya, adalah melalui penegakan
kehidupan demokrasi. Wawasan dasar islam tentang prinsip-prinsip demokrasi
seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan musyawarah, demikian juga dengan
sikap pluralisme, toleransi dan pengakuan hak-hak asasi manusia telah berfungsi
dengan baik selama masa Nabi dan Khulafaurrasyidin yang tidak lagi kondusif
dalam kehidupan sosial politik, yang oleh banyak kalangan intelektual Muslim
merefleksikan tatanan masyarakat madani. Kondisi internal ummat setelah periode
Khulafaurrasyidin yang tidak lagi kondusif munculnya tatanan kehidupan politik
yang demokratis menyebabkan prinsip-prinsip dasar islam mengenai demokrasi
tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik yang mapan. Akibatnya
perbedaan antara teori (Wawasan Islam tentang demokrasi) dan praktek kehidupan
politik terlihat sangat jauh; menjadikan ummat islam terkesan asing dengan
simbol-simbol demokrasi, keadilan, HAM, toleransi, serta pluralisme.
Pluralisme
dan Toleransi
Pluralisme yaitu
sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang mejemuk disertai dengan
sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Toleransi yaitu
kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan polotik dan sikap sosial
yang berbeda dalam masyarakat, sikap salling menghargai dan menghormati
pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
Dasar tatanan
masyarakat madani memperoleh legitimasi kuat pada landasan tekstual al-Qur’an
maupun Hadits dan praktek generasi awal islam. Landasan ini tercermin dalam
sikap budaya dan agama seperti toleran dan pluralis, serta pegakuan atas
hak-hak asasi manusia.
Sikap toleran
dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama lain
jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan preseden yang dilakukan
oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan
masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah,
yang terkenal dengan “Konstitusi Madinah”. Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam
Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia, yang
meletakkan dasar-dasae pluralisme dan toleransi.
Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM)
Hakekatnya
hak-hak asasi manusia itu ialah membangun kebebasan yang manusiawi. Termasuk
kebebasan berpendapat. John Struart Mill Filosof “kebebasan” menyatakan:
“...melahirkan pendapat dengan bebas harus dibolehkan asalkan dengan cara yang
tidak keras dan tidak melampaui batas-batas kewajaran...” (Dalier Noor, 1999)
Kebebasan dalam arti disini adalah pelepasan diri dari hegemonik kekuasaan dan
dari doktrin-doktrin manusia yang telah menjdai absolut.
Keadilan
Sosial
Keadilan sosial
yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban,
serta tanggung jawab individu terhadap lingkungan. Dalam artian etimologi,
menurut Nurcholish Madjid, ‘Adil’ ialah “tengah” atau “Pertengahan”. Sehingga
orang yang berkeadilan adalah orang yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara
a priori memihak. Lebih lanjut Harun Nasution memotret keadilan dalam bahasa
Indonesia, hakekatnya berasal dari bahasa Arab al-‘adl yang berarti keadaan
yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang
adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga ia tidak
menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersikap adil. Oleh karena itu
al-‘adl mengandung arti menentukan hukum dengan benar dan adil, juga berarti
mempertahankan hak yang benar.
Nurcholish Madjid
kemudian mengklasifikasi keadilan dalam beberapa bagian :
1. Keadilan
mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mawzun, balanced),
tidak pincang.
2. Keadilan
mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tiadanya diskriminasi dalam
bentuk apapun.
3. Pengertian
keadilan tidak utuh jika kita tidak memperhatikan maknanya sebagai pemberian
perhatian kepada hak-hak pribadi dan penunain hak kepada siapa saja yang
berhak.
Relevansi
keadilan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni
sangatlah dibutuhkan mengingat, perasaan teringkari dan juga diperlakukan
secara tidak adil akan dengan sendirinya membuka pintu bagi adanya “wawasan
revolusioner”. Yakni, suatu wawasan yang karena terpusat kepada usaha mengubah
yang tidak adil menjadi adil, yang akan berdampak kepada memudarnya disiplin
karena setiap aturan akan dipandang hanya menguntungkan mereka yang sedang
beruntung.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat
madani dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai
“area tempat berbagai gerakan sosial” (seperti himpunan ketetanggan, kelompok
wanita, kelompok keagamaan dan kelompok intelektual) serta oraganisasi sipil
dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan)
berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat
mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka.
Karakteristik
masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal
dalam penegakan masyarakat madani. Diantaranya yaitu ruang public yang bebas,
demokratisasi, toleransi, pluralisme, keadilan sosial. Masyarakat madani juga
harus mempunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi sebagai mengkritisi
kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang tertindas.
B. Saran
Dari sumber yang
diperoleh akhirnya penulis ingin menyampaikan saran kepada pembaca bila akan
menyampaikan :
- Kita harus memahami sumber terlebih dahulu agar saat menyampaikan tidak akan keliru.
2. Saat menyampaikan kita harus tahu banyak tentang Masyarakat Madani. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKAMadjid, Nurcholis. 1996. “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ulumul Qur’an, no. 2/VII.Madjid, Nurcholis. Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan. Bandung: Pustaka HidayahSantoso, Riyadi “Pemerintahan yang Bersih dan Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Cides Sintesis, no. 2, th. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar